Koen
hanya menatap kosong langit malam diatas atap rumahnya. Diantara semilir angin
malam yang menerpa tubuhnya, diantara jelaga pola-pola abstrak awan mendung, dan diantara keabadian
bintang-bintang. Koen begitu menyukai langit karena keluasan dan
ketidakberhinggaanya. Ia meyakini bahwa, langit bukan terdiri dari tujuh lapisan,
melainkan lebih. Ia tidak tahu berapa dan tidak memusingkanya karena ia lebih suka menganggapnya sebuah
rahasia sebab sebuah makna hirarki
langit hanyalah persepsi muka bumi. Barangkali?
Namun,
pikiran koen tidak sekosong tatapanya malam itu. Pikiranya hilir-mudik
kesana-kemari merancang sengkarut strategi hidupnya kelak. Fase wajar yang
pasti dilewati semua anak yang baru lulus SMA. Di satu sisi, ia ingin menjadi
filsuf yang akan mencerahkan orang banyak dan abadi, seperti Marx dan
Nietzsche, tetapi jauh dari kekayaan. Di satu sisi, rasa ingin membahagiakan
ibunya, rasa takut tidak sukses dengan memiliki banyak uang, dan rasa takut
tidak menjadi pegawai menjadi formulasi kekhawatiran tersendiri dalam benak
koen.
Betapa
tidak menyenangkanya berdiri diantara jembatan dilematis. Jenis moralitas apa
yang akan ia pilih? Moralitas balas budi untuk menyenangkan ibunya? Atau
moralitas lain yang akan menjadikanya anak durhaka? Yang jelas, apapun jenis
moralitas yang ia pilih, salah satu pasti kecewa. Tinggal menunggu waktu,
paling tidak sampai 4 bulan kedepan, sampai
dibukanya pendaftaran masuk Universitas.
“Koen,
ayo turun! Makan malamnya udah siap nih!” Seruan ibu yang tiba-tiba sontak saja
mengagetkan koen dan menyadarkanya dari lamunan.
“Iya
sebentar bu!” Sahut Koen. Tanpa berlama-lama Iagi, ia segera turun menuju ruang
makan.
“Malam
ini ibu masakin menu kesukaan kamu lho koen. cumi asem manis, cah kangkung sama
sambel terasi.”
“Waaaaahh
pasti enak nih! Makasih ya bu!”
“Iya.
makan yang banyak ya nak, ini nasinya” Mereka berdua pun makan dengan lahap,
Begitu menikmati makananya.
Ditengah
acara makan itu, secara tidak sengaja mereka berdua mendengar berita dari TV di
ruang tamu yang tidak dimatikan. Berita tentang tukang parkir yang saling bunuh
karena rebutan uang parkir sebesar 2 ribu rupiah.
“Oalaaahhhh!
Orang-orang sekarang udah sinting ya! Cuma gara-gara uang dua ribu mereka rela
membunuh!” Respon ibu menanggapi
obituari tersebut.
“iya
bu, manusia sekarang begitu memberhalakan uang. Tidak pernah merasa cukup. Yang
ada selalu merasa kurang! Dorongan akan pemenuhan sesuatu yang kurang itulah
yang membuat kita rela menyingkirkan orang lain demi memenuhinya”
“kok
bisa begitu ya Koen? Ini lucu sekaligus menyedihkan buat ibu. Uang itu gak ada,
Cuma simbol. Uang bahkan gak punya nilai pada dirinya sendiri, uang hanya
bernilai sebagai alat tukar. Kenapa orang-orang sampe segitunya buat nyari
uang?”
“Kalo
menurut Koen sih gara-gara Kapitalisme bu. Produk dan iklan kapitalis yang
segitu banyaknya dan sebagian besar menggiurkan itu secara implisit mendikte
masyarakat untuk menjalani gaya hidup hedonis dan konsumtif ala kebarat-baratan
gitu bu. Sehingga, masyarakat tersugesti untuk merasa perlu membeli dan
menggunakan banyak produk dari mereka.
Tak peduli dari kelas sosial apa dan berapa penghasilanya, yang penting punya!”
"oh
iya ya, ibu ngerti sekarang kenapa orang-orang korupsi, merampok, membunuh,
dll. Motifnya kayaknya sama ya koen, pengen menikmati kemewahan kapitalistik
tapi dengan cara yang instan”
“Iya,
kurang lebih gitu bu. Tapi selain sesama manusia yang dirugikan, hewan,
tumbuhan dan lingkungan juga ikut merugi bu. Coba ibu bayangkan, orang-orang memburu
binatang hanya untuk memajang kepalanya di ruang tamu. Membabat hutan untuk
dijadikan lapangan golf ataupun gedung pencakar langit, menggunduli gunung
untuk dibangun villa buat orang-orang kaya”
“ironis
ya Koen, ibu harap kamu nggak begitu kalo udah dewasa nanti”
“pasti
nggak dong bu, Koen janji!”
“bagus,
itu baru anak Ibu. Sekarang habiskan makananya lalu pergi tidur”
“iya
bu”
Koen
yang penurut itu pun langsung menuruti titah ibunya, pergi ke kamarnya untuk
tidur. Namun berapa kalipun ia memejamkan mata, ia tetap tak bisa tidur.
Ketidaknyamanan dilematis yg dilamunkanya diatas atap menghampirinya lagi,
seakan tidak mengijinkan pikiranya beristirahat memikirkanya barang sedetikpun.
Keinginan terbesarnya berubah wujud
menjadi 2 mata pisau yang bisa saja melukainya atau ibunya. Baginya, berkuliah
filsafat sekarang lebih sulit dari membongkar
jaringan pembunuh munir.
Bagaimana
tidak sulit, reputasi filsafat sudah rusak dimata ibunya. Ibu mendengar dan
melihat sendiri beberapa anak temanya yang kuliah filsafat tidak menjadi
apa-apa selain pengangguran dan seorang sakit jiwa.
Pertama,
Bang Alan yang kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sudah
10 tahun pasca kelulusanya beliau tidak kunjung bekerja. Kata ibunya, Tante
Yani, “ia terlalu idealis, menolak setiap tawaran kerja. Gamau didikte siapun
dan menganggap relasi bos-karyawan itu penuh tipu daya. Dia juga gamau
berwirausaha karena menurutnya, itu diskriminasi terhadap kelas sosial
tertentu”
Kedua,
Bang Diki anak tante Mayang yang kuliah ditempat dan jurusan yang sama dengan
Bang Alan 5 tahun kemudian. Sakit jiwa setelah 4 semester kuliah karena mendalami Zarathusra secara dogmatis dan
seperti fuhrer, ia sangat terobsesi dengan figur ubermensch.
Maka
dari itu, Koen yakin Ibunya tidak akan menyetujui keinginanya itu. Karena
Ibunya tidak ingin koen menjadi Bang Alan dan Bang Diki kedua. Koen pun bingung
bagaimana mengutarakan keinginanya kepada ibunya.
Tanpa
terasa hari-hari berlalu secepat kilat, pembukaan pendaftaran mahasiswa baru
tinggal menghitung minggu! Koen merasa terdesak untuk membicarakan semuanya
pada ibunya. Ya, semuanya tentang keinginanya untuk kuliah filsafat itu.
tekadnya sudah bulat untuk kuliah filsafat. Ia pun sudah menyiapkan
argumen-argumen pendukung untuk meyakinkan ibunya.
“pokoknya
aku harus kuliah filsafat! Apapun yang terjadi! Kalaupun ibu kecewa akan
keputusanku, itu hanya kekecewaan temporer bukan? Ibu hanya butuh pembiasaan
terhadapnya. Tetapi aku akan menjanjikan kesuksesan pada ibu, kelak. Aku akan
memberikanya sebuah kebanggaan dan kehormatan sebagai ganti tangis dan
airmatanya hari ini!” Koen meyakinkan diri menjelang tidurnya.
Koen,
Ibu, Tante Yani, Tante Mayang, dan seluruh warga desa tertidur sangat pulas malam itu, tanpa
gangguan tidur sedikitpun. Tidak ada yang menyadari bahwa gempa bumi
berkekuatan 8 SR akan memporak-porandakan seluruh desa itu beserta isinya. Areal
persawahan, rumah-rumah warga, jalanan, fasilitas umum, dsb. Kini, habislah
semuanya. Tidak ada satupun korban selamat, termasuk Koen dan ibunya dan bang
Alan dan Bang Diki dan seluruh warga desa.
Kini,
tidak ada lagi dilema dan kekhawatiran yang membebanimu, koen. Semuanya lenyap
dalam lamat bersama gempa itu dan atap yang menopang kegelisahanmu waktu itu,
dibawah langit yang kau anggap lapisanya lebih dari tujuh.
Syediiih😭😭
BalasHapusPadahal pengen tau perjalanan Koen selanjutnya😢😢
koen tetap berjalan kok tetapi perjalananya kini berdedikasi pada seluruh keteraturan dimensi ruang dan waktu karena ia telah sepenuhnya menyatu dengan semesta heuheu
BalasHapus