Langsung ke konten utama

Merayakan Kematian Nalar






Selalu ada pertama kali untuk segala sesuatu. Cheran menjadi kota anarkis pertama di Mexico yang berhasil mengatur dirinya sendiri secara otonom tanpa bantuan pemerintah. Neil Amstrong manusia pertama yang berhasil mendarat di bulan. Tahun 2012 untuk pertama kalinya Canibus dibantai dengan sangat memalukan pada sebuah rap battle. Nietzsche filsuf pertama yang menelanjangi moralitas penganut Kristen eropa. Jerinx orang Indonesia pertama, yang secara massif, membuktikan bahwa musik, idealisme serta konsistensi memiliki daya pukul yang membuat simbiosa mutual oligarki dan Negara tak lebih bernilai dari kumpulan pandir bermodal.

Dan untuk hal yang paling ajaib dalam hidup saya, untuk pertama kalinya saya sudi menonton debat capres. Sebuah kesadaran yang jarang sekali saya pikirkan mengingat betapa kotornya iklim politik di negeri ini. Kesadaran itu dipantik oleh seorang kawan, sebut saja Mawar, sore itu saat sedang membicarakan agenda ngumpul pada malam harinya. ‘’Nanti malam nyari tempat nobar debat capres yok, biar kita ngumpul ada faedahnya sedikit’’, katanya. What? Jadi selama ini kita ngumpul tidak ada faedah yang didapat? Ahh sudahlah, lagipula banyak yang setuju dengan ide itu dan saya pun sedang malas untuk membicarakan pandangan politik pribadi. Namun sialnya, hujan turun lumayan deras sampai tengah malam dan baru reda saat acara debat presiden itu selesai. So, kami merubah agenda malam itu dengan Cuma ngopi-ngopi biasa.

Lalu beberapa hari pasca ngopi-ngopi itu terlintas begitu saja dalam benak perihal pernyataan Mawar, bahwa menonton debat capres itu berfaedah. Bagi saya tidak penting apa faedahnya dari menonton duel badut oxymoron yang coba membanyol tentang kekonyolan demokrasi. Hanya saja, pernyataan Mawar itu merepresentasikan kegelisahan mainstream pemilih di Indonesia yang masih optimis dengan imajinasi perubahan kearah yang lebih baik seperti janji-janji yang diucap masing-masing paslon. Terlebih menonton debat tersebut bisa meningkatkan daya tawar calon andalan masing-masing pemilih. Atau lebih jauh, argumentasi yang digunakan paslon bisa digunakan sebagai justifikasi sekaligus sumber rujukan untuk menyerang pendukung calon lainya, mengingat sengkarut yang tercipta dari trend politik elektoral seperti ini membuat dua kubu pemilih tidak akur dan kerap saling serang satu sama lain.

Itu Saja Kemampuanmu?

Debat capres saya pikir adalah sebuah panggung sakral yang menuntut segala potensi terbaik yang dimiliki masing-masing capres. Minimal panggung itu menghadirkan pertarungan argumentasi yang brilian sekaligus sengit perihal visi-misi ketika mereka menjabat nanti. Juga tak lupa masing-masing capres seharusnya memiliki strategi retorik yang mampu membuat lawan tak berkutik. Seharusnya…

Debat yang bertemakan “Infrastruktur, Energi dan Pangan” itu diawali dengan pidato visi-misi yang berlangsung selama tiga menit. Pada pembukaan debat ini tampaknya kedua capres secara ajaib memiliki orientasi yang sama dengan mengambil posisi paling aman lagi populer dalam korelasinya dengan tema debat yang diusung. Sambil setengah terbahak saya mengamati keduanya mengambil posisi sebagai environtmentalis basi yang seolah peduli dengan lingkungan, alam, harmonisasi antar keduanya serta tak lupa juga disertai khotbah setengah moralis tentang bagaimana memanfaatkan SDA secara arif dan bijaksana.

Hal ini menjadi insignifikan mengingat keduanya, Jokowi dan Prabowo, sama-sama memiliki perusahaan besar dengan status AMDAL, CSR, Pajak yang dipertanyakan juga faktual merusak lingkungan. PT Rakabu Sejahtera di Solo milik Jokowi dan Nusantara Energy Resource milik Prabowo, yang secara mengejutkan memiliki belasan anak perusahaan juga bergerak di berbagai bidang.

Paradoks di ranah environmentalism ini kemudian menjadi guyonan yang semakin renyah saat Jokowi secara sembrono mengatakan bahwa, “Dalam tiga tahun terakhir ini tidak terjadi kebakaran lahan, hutan, kebakaran lahan gambut, dan itu adalah kerja keras kita semua”. Ahhh mungkin saja Bapak Jokowi ini sedang tidak fokus berdebat sehingga ia melupakan fakta bahwa selama 4 tahun pemerintahanya, terhitung sampai Agustus 2018 saja sudah 194.757 hektare hutan Indonesia terbakar. Begitu sulit membedakan mana nalar nanggung mana demam panggung. Mari berpikir positif bahwa Pak Jokowi sedang demam panggung saat itu. Maklum saja, bahkan disaat-saat terakhir kepemimpinanya kemampuan public speaking beliau tak kemana-mana selain jalan ditempat.

Pak Prabowo pun tak kalah humoris saat beliau menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang fundamentalis yang konsisten dengan secara keukeuh (lagi-lagi) membawa ide delusional swasembada segala rupa kebutuhan dari pupuk sampai popok ala orba. Persetan seberapa irrelevan frame fatamorgana yang coba ia bangun, meski di ladang gersang realitas kemiskinan, kesenjangan dan tumpukan hutang ia harus tetap mewujud. Meski tanpa strategi khusus, meski hanya dengan metafor ambigu, “Strategi yang akan lebih cepat membawa kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Bila dianalogikan sebagai pertarungan tinju, debat malam itu begitu statis. Tidak ada luka lebam apalagi pukulan telak sampai TKO. Sebagai penonton tentu saja menyaksikan sebuah pertarungan akan terasa paripurna bila ada menang-kalah secara konkret, secara telak. Pertarungan secara total akan membuat peserta dipuja kualitasnya. Bila menang, tentu ia memiliki kapasitas serta kapital yang memenuhi syarat untuk memegang trophy kemenangan dan sangat layak dipuja khalayak. Sebaliknya, bila kalah tentu peserta menjadi sadar akan kualitasnya kemudian secara sadar juga tidak akan bertarung di panggung yang sama diluar kapasitasnya. Lalu yang paling penting dari itu semua adalah pertarungan total menyisakan dendam mendalam bagi yang kalah, tidak menutup kemungkinan kekalahan yang menyakitkan itu menyisakan spirit negasi yang kemudian dimanifestasikan dengan menjadi oposan yang militan serta selalu memantau gerak gerik arah langkah si pemenang.

Pertarungan itu begitu statis. Tidak ada luka lebam apalagi luka telak. Hanya keringat mengucur deras. Salah satu yang membuat saya berkeringat adalah pernyataan jokowi, “Dalam empat setengah tahun ini hampir tidak ada terjadi konflik pembebasan lahan untuk infrastruktur kita, karena apa? Tidak ada ganti rugi, yang ada ganti untung”. Entah darimana datangnya motivasi mengucapkan klaim tak berdasar itu, yang jelas jokowi mengatakanya dalam kesadaran penuh dan dengan mimik wajah tanpa perasaan bersalah sedikitpun. Rasanya tak perlu lah saya menggali sumber data spesifik terkait isu ini sebab tanpa itu semua pun saya yakin bahwa di banyak tempat di Indonesia banyak masyarakat yang sedang berkonflik atas nama pembangunan. Paradigma pembangunan neoliberal yang selama ini kita anut menentukan orientasi pembangunan sesungguhnya untuk siapa. Jangankan ganti untung atau ganti rugi, masyarakat tergusur diperlakukan manusiawi pun tidak. Perlawanan mereka yang terancam haknya kerap diwarnai dengan aksi represif dari aparat suruhan oligarki terkait. Kehilangan tempat tinggal, keluarga, pekerjaan bahkan nyawa sudah lumrah hukumnya. Lalu, diatas semua fakta itu, dimana tanggung jawab moral anda untuk mengayomi kaum-kaum yang terpinggirkan ini, yang atas nama pembangunan anda renggut semua yang mereka miliki?!

Akh! Debat capres yang awalnya sangat jenaka kian lama kian menjadi tontonan yang menyebalkan. Apa yang dibicarakan semuanya normatif, artifisial dan mengaburkan realitas tentang apa yang sesungguhnya bangsa ini hadapi. Kedua kubu tidak segan-segan untuk menjilat ulang ludah yang sudah berkali-kali mereka muntahkan. Tidak ada esensi disana, semua hanya meributkan hal-hal normatif saja. Bahkan saya pikir lomba cerdas cermat pada level SMP memiliki dinamika argumentasi yang lebih baik dari debat capres ini. Logical fallacies berhamburan dimana-mana. “Yang nyata, yang nampak pada keseharian kita, justru perampasan tanah kaum tani dan miskin kota, penghisapan nilai lebih kelas pekerja, pembungkaman hak berpendapat dan berpolitik, represifitas kepada rakyat, tingginya biaya pendidikan, kerusakan lingkungan yang kian nyata, serta mahalnya pelayanan kesehatan yang baik. Tapi tak satupun dari semua hal itu bisa terjawab dengan memilih salah satu dari mereka”.

Segmen penuh basa-basi hipokrisi akhirnya usai, sesi selanjutnya merupakan sesi yang saya tunggu-tunggu yaitu segmen pernyataan pamungkas. Definisi pamungkas tentu saja bersinonim dengan andalan, paling unggul, dlsb yang berkonotasi langsung dengan pemaknaan kita terhadap usaha terakhir dan terbaik masing-masing dari mereka untuk menunjukan kapasitasnya sebagai calon pemimpin bangsa. Seharusnya…

“Rakyat Indonesia yang saya cintai, mengelola Negara sebesar Indonesia ini tidak mudah. Tidak gampang”, tutur Jokowi mengawali pernyataan pamungkasnya. Disini lagi-lagi saya kecewa karena berekspektasi terlalu tinggi. Bukanya mengusung program yang aplikatif di segmen terakhir ini beliau malah mengawali kalimatnya dengan nada apologis pesimistik. Ya, Indonesia memang Negara yang besar. Lalu apa? Kami harus memaklumi gestur semiotikmu, bahwa ketika Negara yang besar ini kacau maka yang disalahkan adalah ‘kebesaranya’ dan bukan pemimpinya? Apalagi? Anda meminta kami berbondong-bondong memilih anda dari balik bilik suara, untuk kemudian mendengar
apologi yang sama di akhir periode anda yang kedua nanti?

Lalu Prabowo menjadi fatalis baru dengan selalu mengusung kebesaran nasionalisme dan patriotisme, seperti yang dikatakanya, “daripada asing yang memiliki lebih baik saya yang kelola” saat beliau mengklarifikasi isu tanah yang dilontarkan Jokowi. Sejauh ini visi yang saya tangkap dari Prabowo hanya dua, yaitu “kami punya strategi…” dan privatisasi/nasionalisasi lahan. Untuk poin pertama saya ragu apa maksud beliau mengucapkan kalimat yang tak selesai seperti itu, di sisi yang lain saya meragukan kecerdasan diri saya sendiri yang mungkin tidak cukup mampu menerima sinyalemen sisipan gurauan disana. Tentang privatisasi lahan, sungguh lucu ketika itu dikaitkan dengan sosok prabowo yang tumbuh dikalangan feodal sekaligus militer,  karena sudah pasti beliau anti politik sayap kiri. Dibuktikan dengan keterlibatanya secara langsung dalam upaya penertiban gerakan-gerakan sosial reformis di Indonesia saat masih menjabat panglima kostrad. Ibarat meludahi wajah sendiri, prabowo dan privatisasi lahan sudah seperti guyonan intelektual. Betapa tidak, ide penguasaan kapital (salah satunya tanah) itu merupakan ide politik sayap kiri, komunis, yang berangkat dari premis dasar bahwa ketika alat-alat produksi dikuasai oleh Negara begitu juga distribusi upah maka tidak ada lagi kesenjangan sosial demi mewujudkan masyarakat tanpa hierarki. Lalu ide itu secara buta diadopsi oleh orang seperti prabowo dengan segala atribut ketegasanya, diulang-ulang secara jumawa di banyak forum. Sekarang, siapa orang yang cukup nyentrik untuk pergi ke gereja memakai sorban?

“Saya ini nasionalis dan patriot!”, kalau memang begitu lalu kenapa? Apa dengan serta merta semua permasalahan Negara dapat diselesaikan hanya dengan ucapan lantang itu dari mulut anda? Adolf Hitler, Mussolini, Franco, Hirohito itu kurang nasionalis dan patriotis apalagi, sampai-sampai karena saking nasionalisnya mereka dengan sangat mudah membunuh, meringkus, memberedel, merazia, dsb tentang apapun yang dianggap tidak sesuai dengan pandangan politiknya. Justru karena anda patriotik (baca: fasis) saya enggan memilih anda.


 Batas Kompromi

Pasca setengah ngantuk dan setengah niat menyelesaikan tontonan nan menghibur itu, sesungguhnya debat capres adalah ironi. Sesungguhnya mereka tidak punya apa-apa untuk ditawarkan sebagai sebuah alternatif. Politik kini tak membutuhkan komitmen dan ide brilian. Politik berjalan dalam suasana hingar bingar nan dangkal. Tiap kali politisi bicara kita tahu tak ada gagasan di dalamnya. meneriakkan hal yang sama dan menyatakan sesuatu yang beda dari yang diharapkan. Tak hanya rawan oleh manipulasi tapi juga politik mulai kehilangan nalar. Di sana tak ada ide baru, tak punya terobosan juga kurang militan. Bahkan meracuni ide perubahan. Dengan trend politik yang sedemikian rupa tentu lambat laun ia mulai kehilangan dunia publiknya dan cenderung memuaskan kepentingan privat. Pada saat itulah politisi yang tampil bukan berusaha memenangkan kepentingan publik, tapi mendirikan keyakinan dirinya sendiri dan golonganya untuk publik.

Jargon “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, dewasa ini isitlah itu lebih mirip mitos yang keberadaanya sudah mati dibalik kotak suara. Demokrasi itu sendiri merupakan sistem yang buruk ketika diterapkan diantara orang-orang yang tidak kompeten. Meminjam pendapat Plato, bahwa masyarakat merupakan hakim tidak becus dalam banyak masalah politik. Masyarakat cenderung memberikan penilaian berdasarkan kebodohan, dorongan hati, sentimen atau prasangka. Yang paling buruk adalah bahwa demokrasi seperti itu mendorong munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak becus. Karena pemimpin memperoleh kepemimpinan dari masyarakat, pemimpin cenderung mengikuti tingkat masyarakat demi keamanan kedudukannya. Persis seperti apa yang terjadi di Indonesia.

Kolektifitas dalam sistem demokrasi tak kalah pentingnya dengan logika kotak suara. Sebagai system keterwakilan tentu bukan hanya pemilih saja yang harus diwakili, yang dipilih pun harus ditelusuri dia mewakili siapa dalam relevansinya dengan pertimbangan pemilih. Dalam hal ini mari kita lihat siapa sebenarnya orang-orang yang diwakili oleh Jokowi dan Prabowo. Orang-orang yang berada dibalik Jokowi adalah konglomerat pemilik tambang-tambang besar seperti Luhut Pandjaitan, Fachrur Razi, Suaidi Maurassbessy, Surya Paloh, Harry Tanoe, Wahyu Sakti Trenggono, Oesman Sapta, Andi Syamsudin Arsyadr, Jusuf Kala dan Jusuf Hamka. Sementara sosok yang berada dibalik ketegasan Prabowo adalah Sandiaga Uno, Tommy Soeharto, Sudirman Said, Maher Al Gadrie, Ferry Mursyidan, Hashim Djojohadikusumo, dan Zulkufli Hasan.

Dari sederet nama tersebut, bagi masing-masing capres mereka adalah orang-orang yang penting dalam kehidupan politis capres yang bersangkutan. Dan bila ditinjau dari latar belakang masing-masing sosok, mereka semua adalah konglomerat! Bisa dibayangkan jika konglomerasi berkoalisi sedemikian rupa dibalik satu sosok pemimpin sudah bisa dipastikan bahwa orientasi kepemimpinan bukan lagi tentang rakyat tapi melulu tentang akumulasi modal. Maka dari itu, sudah bisa dipastikan bahwa pilpres kali ini adalah pertarungan dan pesta para oligarki pemilik modal bukan pesta rakyat! Maka jangan berharap terlalu banyak akan adanya kesejahteraan, kemakmuran, dlsb. Genghis khan mana yang coba definisikan moral? (baca: kapitalis mana yang punya imajinasi untuk mensejahterakan rakyat banyak?)

Bagi saya demokrasi bukan hanya tentang memilih siapa yang akan memimpin. Sebagai salah satu pandangan yang berangkat dari kebebasan dan kemanusiaan seharusnya pilihan untuk menjadi demokratis  lebih dari sekedar memilih siapa yang akan memimpin. Namun, memutuskan untuk tidak memilih juga merupakan bagian dari demokratisasi. Apalagi ketika kita semua tau bahwa masing-masing calon sama buruknya, sama-sama membunuh nalar dan orientasi kepemimpinanya kelak bernuansa oligarkis. Tidak memilih/golput kemudian menjadi relevan bila itu menjadi semacam tindakan protes akan ketidakadilan dalam proses demokratisasi. Tidak memilih bukan hanya tentang pilihan/media untuk protes tapi juga merupakan sebuah sikap politis yang jika dilakukan banyak orang maka memiliki kekuatanya tersendiri. Dan jika hal itu sampai terjadi, maka terindikasi dua hal yaitu rakyat sudah tidak percaya kepada pemerintah dan Negara sudah gagal menjalankan fungsinya.

Komentar

  1. Kuingin golput tapi ntar suara golputnya bisa DIBELI oleh oknum tertentu. "Coblos dua-duanya supaya dihitung sebagai suara tidak sah"? Bisa aja. Nanti ketika perhitungan suara di KPU-KPU akan dihitung sebagai suara yang tidak sah, tapi ketika data perhitungan suara itu dikirim ke pusat, akan terjadi permainan angka lagi disana!

    Jadi, aku memutuskan untuk memilih paslon yang setidaknya 'tidak terlalu kotor' diantara yang paling kotor. Lagi pula tidak ada pilihan lain, bukan? Calonnya hanya ada dua!

    Dan memangnya harus menjadi presiden dulu baru kita berhak untuk membangun negeri? Tidak! Jadi, aku akan lebih memilih paslon yang terbukti aksi nyatanya.

    Hak pilih kembali ke masing-masing individu, tapi pesanku satu, GUNAKANLAH SEBIJAKSANA MUNGKIN.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Benarkah Gondrong Harus Diselamatkan?

Menjadi mahasiswa merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi siapapun yang beruntung dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dan memiliki spesialisasi di bidang ilmu tertentu. Betapa tidak, menjadi mahasiswa terkonotasi langsung dengan menjadi bebas dalam konteks belajar. Kita tidak lagi harus dipaksa tunduk dalam otomatisasi kedisiplinan artifisial ala sekolahan selama 12 tahun, dari SD, SMP dan SMA kita dipaksa mematuhi tata tertib dan proses belajar serba teratur di sekolah yang kemudian mendikte aktivitas keseharian kita dalam rutin-rutin yang monoton dan membosankan. Tata tertib sekolah kemudian menjadi substansi yang paling bertanggung jawab atas terrenggutnya keceriaan masa kanak-kanak kita dengan mereduksi hidup menjadi tanggung jawab moral keteraturan yang mengatur jam tidur, jam bangun tidur, jadwal makan, bagaimana cara memakai seragam, bagaimana cara menjadi murid yang baik (hormati guru, sayangi teman) dan segala tetek bengek artifisial yang ditamengi proses b...

Profanubis

Rima yang berangkat dari lanskap keterulangan. Mengangkangi pitam dengan disiplin kacangan densus dua angka delapan. Mencemari arus hegemoni bangsa Titan yang kalian nobatkan sebagai Tuhan bajakan. Logika penaklukan swasembada pangan dan dominasi pelumuran. Katarsis yg sama menjengkelkan dengan prostitusi Don Yuan prapatan. Arsitek yang membangun reruntuhan dengan sintaksis keterasingan. Plot kota yg melacurkan diri pada simbiosa mutual konstitusi dan parlemen. Stabilitas pasang surut yg mengerupsi bahaya laten. Rahim pusara yg menjagai tameng anti-dekaden petaka Bush bin Laden. Melumat takdir perayaan buruh tani pada hari pertama pasca panen sejak menara satir para nasionalis kalian bangun tanpa semen. Seharam jadah keringat martir laba yg meronta kekang dimuka kutukan Firaun Tutkanhamen. Sehingga, kami pangkas semua manuver klandestin hamba-paduka dengan secawan kopi dan nyala api permanen. Rima penantang awan, sumpah serapah sekaliber kutukan tuhan. Merasuk seti...