Menjadi
mahasiswa merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi siapapun yang beruntung
dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dan memiliki spesialisasi di
bidang ilmu tertentu. Betapa tidak, menjadi mahasiswa terkonotasi langsung
dengan menjadi bebas dalam konteks belajar. Kita tidak lagi harus dipaksa
tunduk dalam otomatisasi kedisiplinan artifisial ala sekolahan selama 12 tahun,
dari SD, SMP dan SMA kita dipaksa mematuhi tata tertib dan proses belajar serba
teratur di sekolah yang kemudian mendikte aktivitas keseharian kita dalam
rutin-rutin yang monoton dan membosankan. Tata tertib sekolah kemudian menjadi
substansi yang paling bertanggung jawab atas terrenggutnya keceriaan masa
kanak-kanak kita dengan mereduksi hidup menjadi tanggung jawab moral
keteraturan yang mengatur jam tidur, jam bangun tidur, jadwal makan, bagaimana
cara memakai seragam, bagaimana cara menjadi murid yang baik (hormati guru,
sayangi teman) dan segala tetek bengek artifisial yang ditamengi proses belajar
mengajar.
Menjadi mahasiswa merupakan salah
satu fase terpenting dalam hidup seseorang sebab dunia kampus mengajarkan kita
bagaimana bertanggung jawab atas diri kita sendiri, bagaimana kita berproses,
orientasi belajar kita, dan lain sebagainya tanpa harus didikte dengan gundukan
tata tertib artifisial yang memaksa kita hidup layaknya kawanan ternak yang
harus selalu digiring, dibimbing, diarahkan oleh gembala yang dinamai sebagai
guru. Kita telah merdeka, kita bebas mengatur diri kita sendiri, kita telah
otonom sebagai individu. Otonomi ini kemudian dimaknai dengan banyak hal,
termasuk gaya berpakaian dan gaya rambut, sesuai dengan bagaimana kita ingin
dilihat orang atau bagaimana eksistensi yang ingin kita citrakan kepada orang
banyak. dari sekian jenis eksistensi di kampus FISIP UNTAN, banyak pula yang
kemudian memilih memiliki rambut gondrong di kepalanya dengan konsekuensi logis
mendapat kesan tertentu dari generalisasi segudang interpretasi historis yang
sebenarnya kurang baik. Kegondrongan mahasiswa di kampus ini juga sebenarnya
perlu di pertanyakan, apakah ia gondrong karena memiliki alasan personal atau
hanya termakan demagogi senior yang dari generasi ke generasi berusaha
meyakinkan kita semua bahwa keparipurnaan kita sebagai mahasiswa FISIP UNTAN
adalah ketika mahasiswa berambut gondrong, memakai jeans sobek di bagian
dengkul dan memakai kaos hitam belel di kampus. tapi, itu merupakan substansi
yang lain.
Rambut gondrong sendiri memiliki
dinamika yang cukup kompleks di Indonesia dalam kaitanya dengan aspek
sosio-kultural dari masa pra-kolonial, kolonial, orla dan orba. Di masa
pra-kolonial rambut gondrong dimaknai sebagai simbol kekuatan dan kewibawaan
dalam banyak kerajaan nusantara sebelum akhirnya pengaruh islam dan kebudayaan
barat masuk di Indonesia membawa trend kultural baru yang berangkat dari
konstruksi gender dengan memposisikan rambut sebagai penanda seksualitas
seseorang; bahwa laki-harus diasosiasikan dengan rambut pendek dan rapi
sementara perempuan dengan rambut panjang, meskipun kenyataanya pada saat itu
belum ditaati banyak orang. Sebab selain peci dan pakaian rapi, rambut gondrong
pernah menjadi identitas pemuda dalam perjuangan revolusi Indonesia mulai dari
jaman Jepang hingga masa-masa revolusi fisik, para pejuang identik dengan
rambut gondrong dan seragam militer. Orang-orang Belanda yang sudah terbiasa
dengan rambut rapi dan dandanan parlente seperti kebanyakan orang Eropa saat
itu, merasa gerah akan determinasi pejuang dengan kode fisik rambut gondrong,
seragam militer dan pistol di pinggang, kemudian melabeli pejuang berambut
gondrong ini dengan label "ekstremis". Salah satu saksi hidup,
Francisca C. Fanggidaej punya deksripsi yang menarik akan hal itu. "Kota
Yogya mendidih dari semangat dan tekad pemuda. pekik dan salam MERDEKA memenuhi
ruang udara kota. Jalan-jalan dikuasai pemuda: Kebanyakan berambut gondrong,
mereka bersenjatakan pestol, senapang, brengun sampai kelewang panjang Jepang,
dan sudah tentu bambu runcing. kepala mereka diikat dengan kain merah. yah,
semangat juang, rasa romantisme dan kecenderungan kaum muda untuk berlagak dan
bergaya bercampur dengan sikap serius dan tenang dengan tekad pantang mundur
yang terpancar dari mata dan wajah mereka", demikian tulis Francisca
Fanggidaej. Saat itu belum ada dikotomi yang mengaitkan intelektualitas
seseorang dengan gaya rambutnya.
Walaupun rambut gondrong pernah
menjadi simbol militansi pemuda revolusioner tapi pada akhirnya mereka di cap
"kontra-revolusioner" oleh Soekarno saat romantisme jaman sedang
berjuang melawan imperialisme barat. Rambut gondrong menjadi mainstream gaya
rambut yang dibawa oleh The Beatles dan budaya Hippies, yang sebenarnya
merupakan antitesa dari manuver politik Amerika Serikat pada saat itu yang
begitu terobsesi dengan penaklukan dan perang. Budaya Hippies kemudian menjadi
wacana praktis yang berangkat dari humanisme, menjunjung tinggi kebebasan
individu lewat manifestasinya yang berupa, rambut panjang, kaos kebesaran
berwarna-warni, seks bebas dan narkoba.
Ketika orde lama tumbang dan
digantikan oleh masa kepemimpinan Soeharto, pro-kontra mengenai rambut gondrong
ini masih terus berlanjut. Namun, ketika masa orde baru, gondrong kemudian
diasosiasikan dengan aktivis muda yang bebal dan tidak bisa diatur. Hal ini
sedikit banyak dipengaruhi oleh gaya kaum hippies yang pada masa itu
menampilkan rambut gondrong sebagai bentuk perlawanan terhadap militer AS yang
sedang sibuk dengan perang Vietnam. Pemerintah orde baru yang memiliki
kekhawatiran bahwa demam hippies mulai melanda Indonesia, kemudian berdalih
bahwa rambut gondrong tidak sesuai dengan semangat pembangunan pada masa orde
baru. Kekhawatiran yang hiperbola ini kemudian terlihat jelas dengan upaya
pemerintah membentuk Bakoperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut
Gondrong)
Implementasi kekhawatiran pemerintah
orde baru terhadap rambut gondrong ternyata tidak berhenti pada tataran
pemberantasan rambut gondrong dengan melakukan razia, namun juga menggiring
opini publik perihal citra rambut gondrong. penggiringan opini publik yang
dilakukan Soeharto secara manipulatif lewat media massa. Media massa pada zaman
itu memiliki kekuatan yang sangat besar karena seluruhnya dikendalikan oleh
pemerintah dan channel TV hanya satu, yaitu TVRI yang kemudian menjadi
satu-satunya saluran televisi yang dapat diakses masyarakat, sehingga
konstruksi nalar dari pemerintah orde baru terhadap citra rambut gondrong benar-benar
melekat di benak masyarakat. Seperti film G30S yang menggambarkan orang
gondrong sebagai pribadi yang bengis, jahat, tidak manusiawi, dll. Lalu lewat
media cetak ada embel-embel khusus terhadap kasus kejahatan yang dilakukan pria
gondrong.
Dan Stigma negatif tentang rambut
gondrong yang diciptakan rezim orba masih berlaku sampai detik ini melalui
mekanisme kontrol yang terus-menerus di produksi dengan alibi kedisiplinan,
tertib sosial, dan lain sebagainya. Ini
yang kemudian disebut Foucault sebagai mekanisme panopticon yang tujuannya
menimbulkan kesadaran untuk diawasi, dilihat, secara terus menerus pada diri
seseorang. Sebuahkesadaran yang mengisyaratkan bahwa segala tindak-tanduk dan
gerak-gerik mereka ada yang mengontrol dan mengawasi. Tentunya kesadaran
diawasi dan dikontrol ini menimbulkan efek kepatuhan bahkan ketakutan. Maksud
dari Panopticon adalah menimbulkan rasa bersalah dan menyesal apabila keluar
dari batas-batas yang dipandang benar oleh penguasa. Sehingga tidak menjadi
kekuatan yang melawan atau resisten.
Lalu, dari gundukan sengkarut pergeseran
nilai tentang rambut gondrong, bagaimana esensinya hari ini? Morgue Vanguard, dalam sepenggal bait lirik
lagu Abrasi, "Kekosongan esensi dari identitas generasi kami, Yang sudah
mirip karnival para nihilis-nihilis basi, Dengan perspektif tanpa guna serupa
spion metromini, Makmum di altar gaya hidup yang siap pula mengamini". Ia
mereduksi kemerosotan moral, kekosongan esensi, dan kedangkalan makna budaya
populer kedalam pesimisme posmodern dimana masyarakat hari ini hanya disibukkan
dengan citra, kesan dan identitas instan, kita adalah makmum gaya hidup yang
siap mengamini apapun yang pasar sajikan. Persetan esensi, yang kami semua
butuhkan hanyalah ornamen estetik serupa spion metromini, yang hanya digunakan
sebagai formalitas layak jalan tanpa pernah digunakan untuk melihat kendaraan
dibelakang karena supir selalu abai, lebih suka ugal-ugalan.
Dari sekian rupa fragmentasi historis
rambut gondrong, generasi kami menempatkanya dalam posisi yang paling tragis;
ia tak lagi memiliki esensi sebagai simbol perlawanan dan perjuangan, namun
hari ini orang-orang lebih suka menggunakanya sebagai simbol dari sangar,
seram, kriminal, beringas dan lain sebagainya yang hanya penting sebagai alat
kodifikasi dengan harapan untuk menjadi sosok tertentu secara praktis, yang
hanya penting sebagai instrumen aktualisasi diri tanpa isi, yang hanya penting
untuk momentum publikasi sosial media bahkan melacurkan dirinya kepada akun
publikasi yang lebih luas seperti @GONDRONGERS @gondrong_indonesia
@potret_gondrong dalam rangka mengemis jatah pujian, urgensi eksistensial masa
kini.
Bahkan lebih jauh, kaum gondrong
secara kolektif dalam skala nasional lebih gemar memakai hashtag #savegondrong
ketimbang, misalnya #gondrongberjuang, #gondrongidealis atau apapun yang
seharusnya dapat merepresentasikan idealisme kegondrongan kita. apa yang
sebenarnya diharapkan dengan merasa jumawa memakai hashtag #savegondrong?
apakah kita adalah entitas yang harus diselamatkan? diselamatkan atas apa? atau
dalam tataran kampus, apakah kita harus diselamatkan dari dosen yang menolak
mengajar mahasiswa gondrong? tapi, bukankah generalisasi karakter mahasiswa
gondrong oleh dosen terkait bukan tindakan yang lahir dari ruang hampa? Jika
iya, apa artinya seremoni komunal yang penuh maskulinitas lewat foto
bertelanjang dada, dengan ekspresi yang seram itu? bukankah hashtag #save... ditujukan
untuk suatu entitas yang tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri dan lemah,
seperti Orang Utan, Gunung Slamet dan wilayah bencana? Benarkah Gondrong harus
diselamatkan? Ahhhhhh
"Tahu
diri, kenal diri dan bisa jaga diri. Tunjukan pada dunia bahwa kita adalah
manusia yang patut dipuji" - Superman Is Dead
Kenapa #savegondrong dan bukan #gondrongidealis? Karena ideologi sudah mati! Dan tak banyak manusia yang selamat dari postmodernitas.
BalasHapus