Rocker juga manusia bukan? Andai Che Guevara masih hidup dan sedang menyelesaikan skripsinya di salah satu Universitas di Indonesia, ia akan mengeluh seperti ini.
Aku lebih suka perjuangan yang berdarah-darah untuk merebut sesuatu yang sudah pasti transformatif. Perang gerilya di hutan belantara yang lembab, dimana setiap detiknya hidup terasa begitu dekat dengan kematian. Namun kami semua cukup berani tuk melawan atas nama solidaritas tuk menyudahi penindasan ini. Untuk itu semua aku lebih suka mengobati kamerad yang terluka atau sakit karena kejamnya realitas yang kami hadapi ketimbang mengobati diriku sendiri atas sakit paru-paru yang begitu tidak tahu diri datang disaat yang tidak dibutuhkan. Aku lebih suka itu semua ketimbang berjuang menjadi mahasiswa tingkat akhir dimana kampus beserta jejeran staf birokrasi mereduksi perjuangan mahasiswa menjadi sekedar kemampuan untuk pasrah menunggu berbagai hal yang tak pasti. Tanda tangan dosen pembimbing, urusan berkas administratif, dan lain sebagainya.
Lalu satu hal yang aku lupa, kampus juga mengajarkanku dengan baik bagaimana cara untuk merasa tidak berguna ditengah penantian harap-harap cemas yang saban hari ku lakukan. Padahal aku yakin, juga ingat betul bahwa ibuku dirumah sering berkata dengan bangga kalau aku adalah anak yang cerdas dan pintar. Bakatku adalah membaca, menulis dan bercerita. Kata ibuku, aku sudah pandai membaca sejak taman kanak-kanak, jauh berbeda dengan anak lain yang baru bisa membaca saat kelas 2 SD. Ibuku juga bercerita katanya aku pernah menulis surat cinta untuk seseorang saat kelas 2 SD. Aku anak yang pintar bukan?
Ya, kampus sangat berarti bagiku karena selalu mengajarkan bagaimana caranya menjadi manusia yang tidak berguna. Dihadapan elemen-elemen birokratis yang menggerogotinya dari dalam, aku, kamu dan kita semua hanyalah seonggok daging penagih tanda tangan. Tanpa kepribadian, tanpa cita-cita, tanpa bakat, hanya seonggok daging penagih tanda tangan. Kira-kira begitulah cara mereka memandang aku, kamu dan kita semua. Memangnya Machiavelli mana yang sudi berbagi kisah kasih disekolah? (baca: kampus). Ahhhh.. Untuk itu semua, aku sudi melupakan apa yang ibuku katakan tentangku karena itu tidak dibutuhkan oleh staf akademik yang lebih mementingkan tanda tangan dosen pembimbing yang sedang indehoy dengan mahasiswinya diluar kota ketimbang kenyataan bahwa ibu dan ayahku bermandikan darah dan air mata tuk menguliahkanku, demi masa depan yang lebih baik berdasarkan moralitas empirik berupa, harimau bukan saja takkan memakan anaknya sendiri namun harimau takkan mau anaknya menjadi harimau di kebun binatang.
Sudah dulu, pembimbingku sudah datang. Kali ini aku melihat sesuatu yang berbeda dari dirinya, ia lebih bercahaya siang ini! Apakah ini yang dirasakan muhammad saat mendapat wahyu dari jibril? Apakah ini yang dilihat Malcolm X saat melihat Elijah? Ahh begitu menyilaukan. Rupanya dari dekat barulah semua jelas, pembimbingku sedang mengenakan jubah moral dari masyarakat dimana semua ilusi kecerahan masa depan dan delusi keagungan dunia pendidikan terajut dalam setiap helainya. Namun ketika jubah itu dibuka, bau busuk langsung merebak ke seluruh penjuru ruang tunggu ketika ia berkata, "kalian sudah tahu aturan bahwa konsultasi dengan saya harus dalam suasana yang syahdu kan? Maka dari itu kalian yang sedang menunggu diharapkan menunggu ditempat lain. Merusak pemandangan saja!"
Lalu Bob Sadino yang sedang ngasong burger tertawa dari kejauhan,"Wakakakakaka.... Kalian kaum terpelajar sungguh sangat menggemaskan. Kalian begitu pandai membagi dan bermain peran kegoblokan meskipun kalian sama-sama tahu itu semua hanya membuang-buang waktu. Wakakakaka... Masa depan masih abu-abu meski kau lulus dengan nilai sempurna bukan? Wakakakaka... Apa bisa cumlaude mengatasi outsourching? Apa bisa cumlaude mengatasi MEA, globalisasi, revolusi industri 4.0? Apa bisa cumlaude mengatasi nepotisme? Mukzizat dari orang dalam? Kalau cumlaude saja tidak bisa, bagaimana yang lulus dengan nilai pas-pasan? Wakakakaka..."
Komentar
Posting Komentar