Pagi ini terasa sejuk sekali, cuaca sungguh mengerti bagaimana cara untuk memperlakukan mereka yang berurusan dengan kegiatan luar ruangan. Termasuk mahasiswa militan (baca: karbitan) untuk berdemo ria menuntut segala sesuatu pada negara tercinta ini. Temanku termasuk salah satunya, ia juga setengah memaksa agar aku turut serta 'menghitamkan' gedung DPRD kalbar seperti mahasiswa-mahasiswa kebanyakan. Ia bicara panjang lebar tentang kebobrokan pemerintah, negara, dan keharusan menjadi mahasiswa dengan suasana bicara seperti nabi yang sedang menjajakan surga. Hanya saja, aku tak sampai hati untuk menjelaskan sikap politikku untuk menolak ajakannya.
Aku lebih memilih diam sambil menggelengkan kepala dan merespon dengan jawaban yang tidak masuk akal. Paling tidak trend demo ini membuatnya kembali hidup sebagai manusia setelah sebelumnya ia hanya mati segan hidup tak mau setelah semua perempuan membuatnya takut untuk mencintai. Aku tak sampai hati untuk merenggut semangatnya tuk beraksi dan kembali hidup hanya karena perbedaan versi surga ini.
Memang massifnya gerakan mahasiswa hari ini menjadi kontrol sosial bagi pemerintah dengan pukulan yang telak bahwa: pemerintah tidak bisa selalu bermain-main dengan kekuasaan tuk kesejahteraan golonganya sendiri dan bersembunyi dibalik kosakata diplomatis ketika keadaan memburuk. Untuk hal yang satu ini aku mengacungkan jempol pada mahasiswa, paling tidak tuk geliat determinasinya yang meruak ke seluruh penjuru negeri. Hanya determinasinya saja.
Aku pikir cukup jelas bahwa transformasi sosial dimanapun dan kapanpun (yang berhasil) selalu butuh lebih dari sekedar semangat yang berapi-api, nostalgia masa lalu, atau semacamnya. Ia membutuhkan arah, konsepsi dan bentuk perlawanan yang jelas dan mengakomodir mayoritas kegelisahan dari populasi yang ada. Teringat akan fase kapitalisme awal menjelma sebagai neraka di muka bumi bagi si miskin dan surga di muka bumi bagi si kaya di eropa secara organik membuat intelektual sosialis mencari jalan keluar.
Joseph Proudhon dengan anarkismenya dan Marx dengan komunismenya. Prodhon lebih dulu ajeg dengan anarkismenya dengan ide bahwa negara adalah sumber segala penindasan, maka dari itu kita harus runtuhkan negara, menjadi masyarakat bebas tanpa negara! Namun kemudian praktek anarkisme ala proudhon ini dikecam habis-habisan oleh Marx muda yang menganggap bahwa orator-orator anarkis dibawah proudhon itu lebih mirip badut panggung ketimbang sosok pembaharu. Mereka lebih suka membuai orang-orang dengan petuah manis ketimbang realitas sosial politik yang konkret. Ditambah lagi kelakuan orator yang merasa dirinya rockstar, telah memenangkan semua pertarungan. Dalam hal ini Marx muda ingin mengatakan bahwa sosialisme harus memiliki konsepsi yang jelas akan tatanan masyarakat pasca-kapitalis bukan hanya sekedar petuah-petuah delusional yang terus-menerus diinjeksi sehingga utopia tentang masyarakat tanpa negara adalah jalan keluar dari semua masalah penindasan.
Di indonesia saat PKI dipimpin oleh Musso dekade 1920an, ia merencanakan kudeta untuk mendirikan negara yang berideologikan komunis namun ia dicegah oleh Tan Malaka yang sangat sadar bahwa saat itu PKI bukan partai yang besar, lebih baik membesarkan diri dulu dengan baik ketimbang membuat kudeta yang prematur. Musso yang begitu memuja lenin dan segala yang berbau Soviet itu jelas-jelas adalah pemimpin non-kompromis yang merasa dirinya lebih mirip tuhan ketimbang manusia seperti kebanyakan pemimpin komunis lain. Ia tetap ngotot kudeta harus dilakukan tahun 1928
Akhirnya? Kudeta gagal total, PKI dibekuk dan Musso kabur ke Soviet. Sialnya tragedi itu berulang tahun 1948, Musso di eksekusi. Lebih sialnya lagi, ada serdadu kecil yang mengidolakan sosok Musso bernama Aidit dan seketika Musso bereinkarnasi seperti Aidit. Namun namanya Musso, mungkin ia ditakdirkan untuk gagal. Pemberontakan g30/s PKI yang kontroversial itu menjadi yang terakhir. Itu juga yang kemudian membuat komunis dibenci diseluruh negeri, menjadi alasan paling cerdas bagi pemerintah tuk mencari tersangka imajiner atas beragam fenomena yang gagal mereka cerna.
Aku tidak ingin menjadi seperti Marx muda maupun Tan Malaka yang sangat sadar akan konteks sosial-politik pada masanya. Aku hanya khawatir gerakan mahasiswa hari ini hanya kita maknai sebagai romansa, bukan sebagai perjuangan yang belum selesai. Aku hanya khawatir gerakan mahasiswa hari ini dipenuhi oleh poser tanpa kesadaran politik. Aku hanya khawatir gerakan mahasiswa hari ini menjadi panggung gratisan oportunis yang sedang mendulang citra baik seperti TNI, ulama, dan politisi muka dua yang mengaku-ngaku oposan.
Kita mengkritisi mereka yang dulu terlibat dalam gerakan kultus reformasi 98. Namun setelah reformasi usai mereka malah meneruskan mental sesuatu yang mereka kritik dulu, menjadi kontributor terbesar beragam sengkarut yang kita kritisi hari ini. Aku khawatir jika sosok Fadli Zon dan Fahri Hamzah akan menjadi pola menyebalkan yang akan terus berulang setiap 20 atau 30 tahun sekali jika mahasiswa tak pernah sadar akan arah perjuanganya. Jika itu terjadi padamu teman, cukup katakan, "saya sudah masuk sistem, kamu belum".
Komentar
Posting Komentar