Dalam
‘Manusia Satu Dimensi’, Herbert Marcuse memproyeksikan peradaban kapitalisme
industri maju sebagai entitas masyarakat yang mengalami abrasi nalar kritis.
Hal ini dapat dilihat dari manusianya yang terperangkap dalam fatamorgana
kesadaran palsu (false consciousness), dengan memandang status quo dan
masalah-masalah yang hadir di sekitar mereka sebagai sesuatu yang alami dan berjalan
sebagaimana mestinya. Sedangkan mereka tak menyadari kondisi yang tercipta
adalah hasil dari mekanisme kuasa kapitalisme. Terenggutnya nalar kritis dari
setiap individu dalam masyarakat erat kaitanya dengan represi yang dilakukan
oleh elemen kapitalisme. Tidak seperti di kapitalisme negara yang melanggengkan
status quo melalui represi fisik dan pendisiplinan subjek secara paksa,
kapitalisme industrial telah menghadirkan beragam ekspresi represif yang tidak
dapat dirasakan secara jasmaniah. Elemen-elemen seperti pendidikan, media, gaya
hidup, seni, dll menjadi medium sublim yang memproduksi kesadaran palsu.
Apabila
kita berusaha untuk mengeksplorasi secara lebih spesifik peran pendidikan dalam
pembentukan kesadaran pasif indvidu masyarakat, pandangan Louis Althusser
tentang RSA dan ISA saya pikir sangat relevan untuk digunakan sebagai acuan
awal. Althusser membagi institusi negara ke dalam dua kategori, yakni RSA
(Repressive State Apparatus) dan ISA (Ideological
State Apparatus). RSA adalah institusi negara yang bertugas melakukan
pendisiplinan masyarakat melalui cara represi fisik, seperti polisi dan militer.
Sedangkan ISA adalah institusi negara yang bertugas menanamkan kesadaran palsu
pada individu masyarakat untuk mereproduksi status quo, seperti pendidikan,
media, seni, dll. Melalui konsep tersebut maka dapat kita tarik analisis lebih lanjut
yang berupa, sebagai institusi yang bertugas menanamkan kesadaran palsu pada
individu masyarakat, maka praktik pendidikan yang dilakukan pun akan mengusahakan
pengerdilan nalar kritis. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menanamkan
rasionalitas instrumental pada diri peserta didik. Jurgen Habermas membagi
kategori ilmu pengetahuan menjadi tiga, yakni, ilmu pengetahuan, teknis,
praktis, dan emansipatoris. Melalui ilmu pengetahuan teknis dan praktis yang
teralienasi dari realitas inilah kemudian upaya untuk merenggut subjektivitas
kritis dilakukan, sedangkan upaya untuk menumbuhkan kesadaran dengan
menghadirkan ilmu pengetahuan emansipatoris yang berbasis realitas tidak diberi
cukup ruang.
Praktiknya
dapat kita saksikan dengan gamblang tentang bagaimana pola pembelajaran di kelas
diberlakukan. Dengan bejubelnya mata pelajaran resmi yang diberlakukan di
Indonesia hari ini, para peserta didik telah dipaksa untuk mengkonsumsi ilmu
pengetahuan di buku resmi pendidikan seakan sebagai barang jadi yang siap
dikonsumsi. Mereka diarahkan untuk terpaku pada teks buku secara penuh seksama
hanya untuk mencerna beragam materi, formula, dan pernyataan para ahli yang
tersaji (dalam hal ini guru dan dosen). Di sisi lain, peserta didik tidak
diberi ruang untuk mengekspresikan gagasan dan ide yang dipikirkannya, ataupun
untuk membenturkannya dengan kondisi realitas yang terjadi. Imbasnya, sudah
barang tentu paradigma peserta didik akan terbangun secara konformistis dan
tekstual.
Dalam
hal ini maka pemilihan metode pembelajaran akan menentukan signifikansinya.
Dalam pandangan Paulo Freirre, pendidikan Gaya Bank adalah ciri pola
pembelajaran yang akan mengkerdilkan daya kritis peserta didik. Ciri metode
pembelajaran ini adalah relasi yang terbangun antara murid dan guru adalah
objek dan subjek. Guru ataupun pengajar diposisikan sebagai subjek serba tahu
yang dapat dapat menggunakan otoritas ilmu pengetahuannya untuk mengonstruski
peserta didik. Sedangkan, peserta didik diibaratkan sebagai gelas kosong yang
dapat diisi sesuka hati oleh pendidik. Peristiwa ini dapat kita saksikan di
semua jenjang pendidikan saat ini. Masih terdapat banyak guru ataupun pengajar
yang bersikeras melakukan metode ceramah maupun dikte di kelasnya. Di sisi
lain, murid tidak diberi ruang yang cukup untuk mengajukan ketidaksetujuannya
pada argumentasi guru. Ataupun, dalam kasus lain, masih terdapat guru yang
tidak dapat menerima kritik maupun sanggahan dari peserta didiknya. Dengan
embel-embel menuduh tidak beretika, dan melawan guru di kelas. Pola
pembelajaran yang masih ramai dipergunakan ini tentu tidak lagi efektif. Selain
mengerdilkan daya kritis, juga akan menimbulkan citra diri yang buruk pada diri
peserta didik.
Selain
permasalahan pola dan metode pembelajaran yang tidak memfasilitasi perkembangan
nalar kritis, serangkaian hasutan guru atau pendidik pada peserta didik pun
marak dilakukan di institusi pendidikan. Hari ini, khususnya di perguruan
tinggi, tentu tidak jarang guru turut berkontribusi membangun pola pikir
pragmatis dengan hasutan menyuruh fokus kuliah, lulus dengan IPK tinggi, lalu
dapat kerja jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang sebenarnya meski gaji
terjamin, bermental penjilat dan ketergantungan pada negara. Kita dicekoki
citra bahwa menyikapi isu kampus melalui demonstrasi adalah hal yang buruk dan
tidak berpendidikan, atau melalui ancaman nilai. Padahal esensi demo adalah
salah satu sarana untuk menyuarakan aspirasi apabila serangkaian dialog masih
saja menemui jalan buntu. Dengan demagogi paranoid seperti itu, bagaimana
mungkin nalar kritis kita akan terbangun untuk menyuarakan aspirasi kita?
Komentar
Posting Komentar