Aku yang menyimpan gelisah pada kegelapan. Aku yang kerap menaruh harap diantara pekatnya jelaga dalam relung dadaku. Aku pula yang memimpikan keduanya bertukar posisi dengan 7 warna pelangi pasca hujan, namun semuanya terasa sekontradiktif bumi dan langit. Sehingga, dari puncak-puncak gunung tertinggi, semua ironi dan tragedi menertawaiku malam ini.
Sampai Keangkuhan jiwaku berkata, sedemikian khawatirnya ia padaku, "bukankah ini yang engkau harapkan? wahai engkau yang telah mendusta! begitu jauhnya engkau terseret pusaran arus manusia-manusia bawah! tidakah engkau sadar? engkau terlalu jauh, sahabatku! engkau menjadi kotor! dan sekarang engkau datang padaku dengan segala atribut kekotoranmu itu? menghamba dengan aksen picisan umat agamis? dengan jurang tak berdasar dari luka-lukamu?"
"Kembalilah pada keduluanmu, sahabatku, sebagaimana aku mencintai mata air yang bersih dan terisolir sebab hanya ada kita berdua yang akan meminum kesegaran dan kesucian airnya, ingatkah engkau? kesegaran air yang pernah memuaskan dahaga kita? yang kesegaranya mampu menelanjangi tuhan-tuhan? Tinggalkanlah sumur yang dipenuhi kawanan sebab semua airnya akan menjadi beracun. dan rasakanlah kebencian yang sama terhadap mulut-mulut yang menyeringai dan dahaga dari mereka yang kotor! mereka melemparkan pandangan ke sumur itu lalu senyum mereka yang menjijikan memantul dari air dan menyeringai kepadamu, sahabatku! bagaimana mungkin? bagaimana mungkin mereka mampu menyeretmu kedalam belenggu pusaran? kasus yang sama? wanita? sadarlah sahabatku! sadarlah! sumur suci kita telah mereka racuni dengan nafsu mereka. dan ketika mereka menyebut mimpi-mimpi kotor mereka sebagai sebuah harapan, bahkan kata-kata itu pun ikut menjadi beracun!"
"Ketahuilah sahabatku, aku selalu berada ditempat yang sama diantara sunyi yang berjelaga. aku tetap disana, menunggu keduluanmu hingga terompet israfil dan kebencianku bertukarposisi."
Komentar
Posting Komentar