Masih hangat dalam ingatan ketika malam masih milikku, ketika semua eksklusifitasnya ia berikan kepadaku. Kegelapan yang menyelimuti tubuhnya begitu lembut menyentuh kulitku yang merah-hitam terbakar matahari. Udaranya yang lembab begitu menyegarkan jiwaku yang terlalu muak akan kepicikan sang siang yang begitu memenjarakanku dengan rutin-rutinnya. Lalu, bulan dan bintang yang ramah tersenyum diantara kaki-kaki langit selalu menyapa dan mendengar semua keluh kesahku yang lagi-lagi tentang kepicikan siang hari. Sungguh, malam begitu kunanti sepanjang hari. Semua aktivitasku sepanjang hari hanya wadal pembunuh waktu yang kukorbankan untuk bertemu sang malam yang selalu ku rindukan dekapnya.
Namun kini aku terdampar di pulau tak berpenghuni karena kapalku dikaramkan ombak kekecewaan yang begitu bernafsu menghancurkanku. Semuanya terasa berbeda setelah aku terdampar disini. Air yang kuminum terasa begitu beracun sehingga tubuhku mulai membiru, udara yang ku hirup begitu perih menyesakkan dada sehingga dadaku mulai menghitam dan mati rasa. Semua yang ada di pulau ini begitu menyakitiku, terutama sang malam, yang dulu begitu dekat denganku.
Di pulau ini malam begitu begitu berbeda dengan malam yang kupunya. Apakah engkau memiliki dualitas dalam dirimu, wahai sang malam? Entahlah. Aku tidak pernah lagi menunggumu datang sejak disini sebab engkau selalu datang menyapa dengan badai halilintar yang sangat menakutkan. Sadarkah engkau, bahwa harapanku sering kau hancur leburkan dengan halilintarmu itu? Kemanakah perginya malamku? Malam yang selalu kurindukan dekapnya? Masih bisakah engkau membaca dengan baik? Sebab semua huruf dalam tulisan ini ku pungut satu per satu di jurang tak berdasar dari luka-lukaku.
Komentar
Posting Komentar